Senin, 30 Mei 2011

METADATA
Nama : Jufri

Bagi dunia perpustakaan dan informasi dasawarsa terakhir abad ke-20 adalah suatu periode luar biasa, karena penuh gejolak, kreativitas dan perubahan. Ada World Wide Web (WWW), ada perpustakaan digital dan ada metadata. Kata “metadata” pada tahun 1990-an menjadi salah satu kata paling top dalam literatur dan diskusi kalangan pustakawan dan profesional informasi lain. Waktu itu kata ini punya semacam aura misterius. Dulu, kalau seorang bisa bicara tentang metadata dia dikagumi karena itu bisa berarti dia mendalami bidang filsafat. Tahun 90-an bisa berarti dia orang TI (teknologi informasi), pintar dan canggih. Apalagi kalau dia bilang bahwa pekerjaannya adalah membuat metadata. Berarti dia istimewa, bikan pustakawan biasa, gajinya juga bukan gaji pustakawan biasa.
“Kita hidup di tengah-tengah suatu revolusi representase pengetahuan, demikian Dillon (2001) menegaskan ketika sedang berbicara pada konperensi khusus tentang pengawasan bibliografi untuk abad ke-21. “Kertas dan tinta setelah evolusi yang pelan-pelan dan mencakup kurun waktu yang cukup lama menjadi bentuk terpenting untuk representasi pengetahuan. Sekarang kita sedang bergeser ke bentuk-bentuk digital untuk representasi pengetahuan, dan Web sebagai saluran distribusi utama”. Apa dampak pergeseran ini pada perpustakaan? Dan pada katalog perpustakaan? Apakah masih akan ada tempat bagi keduanya? Dan seperti apa wujud dan isi keduanya kelak? Tidak ada yang dapat menjadi dengan pasti. Ada banyak dugaan, perkiraan dan ramalan. Dari yang cukup rasional hingga ke yang futuristik. Bab ini akan bertolak dari apa yang dikemukakan Dillon (2001), yaitu bahwa :
The library has to be reconceived as a unified cooperative, and cataloging has to be redefined as a function within that cooperative.
Maka, jika dulu, pada zaman kertas dan tinta, tugas pustakawan adalah membuat cantuman bibliografi untuk disusun dalam katalog lokal, sekarang tugasnya ialah membuat cantuman yang cocok untuk suatu katalog universal untuk sumber-sumber berbasis web. Lagipula, katalog ini harus dapat bekerjasama dengan mulus dengan katalog dan sarana bibliografi lain dari dunia kertas, yang dimasa depan tidak serta merta lenyap. Pandangan inilah yang menjadi konteks tulisan ini.
Tulisan ini bertujuan memperkenalkan metadata. Topik metadata sangat luas sebab ada berbagai aspek yang bisa disorot. Keterbatasan tempat memaksa penulis memilih beberapa aspek saja. Setelah membahas definisi, jenismetadata dan skema metadata, penulis akan memperkenalkan tiga skema metadata terpenting untuk kalangan pustakawan yaitu Dublin Core, MODS (Metadata Object Description Schema) dan METS (Metadata Encoding and Transmission Standard). Asumsi penulis ialah pembaca adalah praktisi yang sudah mengenal MARC (Machine Readable Cataloguing), maka tidak perlu ada bagian yang memperkenalkan MARC. Cukup penjelasan mengenai masa depan MARC. Sesuatu itu masalah standardisasi skema metadata, pengawasan bibliografi, metadata interoperability menyusul, dan sebagai penutup beberapa petunjuk praktis untuk membuat metadata yang baik.

Apa sih, (sebenarnya) Metadata Itu ?
Definisi yang palin singkat mengatakan bahwa metadata adalah “ Data tentang data”. Definisi yang singkat ini belum menyebut salah satu ciri terpenting metadata, yaitu bahwa data itu harus terstruktur. Sekelompok data tentang data tidak dengan sendirinya dapat disebut metadata. Jadi jika yang dicari adalah definisi yang lebih tepat dan sekaligus singkat, maka minimal harus dikatakan bahwa metadata ialah “ data terstruktur tentang data” (“structured data about data”). Namun cukup jelaskah definisi ini? Kiranya lebih bijaksana apabila definisi yang lebih lengkap disimak sebelum kita melangkah lebih lanjut.
Salah satu definisi metadata yang lebih rinci berbunyi: “Metadata are structured, encoded data that describe characteristics of information bearing entities to aid in the identification, discovery, assessment and management of the described entities.” Definisi ini disepakati oleh Task Force on Metadata CC:DA (Committee on Cataloging: Description and Access) dari ALA (American Library Association), setelah mempelajari lebih dari 40 definisi. Definisi ini menunjukkan bahwa metadata adalah data yang (1) terstruktur, (2) ditandai dengan kode agar dapat diproses oleh komputer, (3) mendeskripsikan ciri-ciri satuan-satuan pembawa informasi, dan (4) membantu identifikasi, penemuan, penelitian, dan pengelolaan satuan pembawa informasi tersebut. Definisi ini tidak membatasi metadata pada data tentang yang diciptakan dan harus diproses dengan bantuan komputer, atau pada data yang mendeskripsikan sumber-sumber digital saja, seperti beberapa definisi lain.
Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya metadata hanya istilah baru, bukan konsep yang 100% baru. Suatu kartu katalog atau entri dalam bibliografi adalah metadata, cantuman bibliografi berformat MARC adalah metadata,. Begitu pula suatu finding aid bahan kearsipan yang disusun sesuai EAD (Encoded Archival Description). Memang sejak dulu pustakawan dan arsiparis, dan juga kurator museum, telah menciptakan apa yang sekarang disebut metadata untuk memungkinkan pengelolaan dan temu balik berbagai obyek warisan budaya yang dipercayakan pada mereka. Yang baru adalah bahwa kini beragam komunitas mulai merasakan perlunya format yang tersetruktur dan standar untuk data yang mendeskripsikan obyek-obyek yang dikelola kemampuan komputer untuk memproses data semakin besar dan canggih.
Komunitas yang sibuk merancang format atau skema metadata punya latar belakang dan profesi yang berbeda-beda, mencakup berbagai disiplin ilmu, dan melibatkan praktisi dari berbagai bidang seperti penerbit, perancang dan produsen media interaktif dan perangkat lunak, ahli teknologi informasi. Ada yang punya tujuan komersial, ada yang murni pelayanan, ada kombinasi. Jadi tidak terbatas pada lingkugan perpustakaan, kerasipan, dan musium. Bahkan ketika istilah metadata pada tahun 1990-an pertama-tama mulai digunakan dalam arti sekelompok data yang mendeskripsikan suatu obyek, istilah ini digunakan untuk suatu standar data geospatial, yaitu CSDGM (Content Standar for Digital Geospatial Metadata).



Mari Berkenalan Dengan Keluarga Besar Metadata
Secara garis besar metadata dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis:
1. Metadata Deskriptif
Data ini mengidentifikasi sumber informasi sehingga memperlancar proses penemuan (discovert) dan seleksi. Data ini mencakup unsur-unsur seperti pengarang, judul, tahun terbit, tajuk subyek atau kata kunci dan informasi lain yang lazimnya dicatat dalam proses pengatalogan tradisional. Di lingkungan perpustakaan dilakukan pembuatan cantuman bibliografi berdasarkan ISBD (Internatioanl Standar Biblographic Description), AACR, bagan klasifikasi seperti DDC (Dewey Decimal Classification), UDC (Universal Decimal Representation atau document surrogate) standar yang berfungsi sebagai cantuman biblografi. Dunia arsip menciptakan finding aids.

2. Metadata Administratif
Data yang memberikan informasi utnuk pengelolaan sumber informasi seperti kapan dan bagaimana diciptakan, tipe berkas (File), data teknis lain, dan siapa pemiliknya, serta siapa saja yang berhak mengaksesnya. Metadata administratif mencakup pula data berkenaan dengan hak kekayaan intelektual dan seluk-beluknya (rights management metadata), penyimpanan (archiving) dan pelestarian sumber informasi (preservation metadata).

3. Metadata Struktural
Data ini menjelaskan bagaimana suatu obyek digital terstruktur sehingga dapat digabungkan menjadi satu kesatuan logis. Sumber digital berupa buku misalnya, terdiri dari atas beberapa bab, dan tiap bab terdiri atas halaman-halaman yang masing-masing merupakan suatu berkas digital tersendiri. Metadata struktural diperlukan untuk mengetahui hubungan antara berkas fisik dan halaman, halaman dan bab, dan bab dengan buku sebagai produk akhir. Inilah kemudian memungkinkan perangkat lunak menampilkan daftar isi buku lalu langsung memunculkan bab yang dipilih (dengan click) oleh pengguna, atau bernavigasi ke bagian (halaman) lain dari “buku”. Contoh lain: Obyek multimedia yang terdiri atas komponen audio dan teks perlu sinkronasasi, dan untuk ini harus ada metadata struktural.
Ketika sumber-sumber informasi (information resources) yang tersimpan di perpustakaan dan lembaga serupa tidak lagi terbatas pada monograf, terbitan berseri, bahan audio-visual, dan format lain yang masih analog, “pra-komputer” atau “nir-komputer”, sistem-sistem dan praktek-praktek pengatalogan yang asal mulanya didesain dan dikembangkan untuk pengatalogan buku, harus disesuaikan dengan drastis. “…… these system were jolted in the twentith century by information explosions, the computer revaluation, the proliferation of new media, and the drive toward universal bibliographic control,” demikian kata Elaine Svenonius (2000). Metadata diharapkan bisa menjadi salah satu sarana untuk menjinakkan pertumbuhan liar akibat eksplosi, revolusi dan proliferasi ini. Pengatalogan tradisional saja tidak cukup.
Pengantalogan tradisional menghasilkan data deskriptif yang masih tetap diperlukan, khususnya untuk proses resource discovery, namun pengatalogan ini tidak dapat menampung berbagai data lain yang amat penting. Peralihan dari sumber yang tangible, yaitu sumber yang mempunyai wujud fisik, yang dapat disentuh, dibawa-bawa, ditaruh di rak, ke sumber yang intangible, seperti sumber digital, dengan sendirinya mempengaruhi metode pengumpulan, pengelolaan dan temu kembali. Apa yang cocok untuk sumber yang statis seperti buku atau jurnal tercetak tidak cocok untuk sumber yang dinamis seperti situs web. Ada pula peralihan dari ownership ke access, peralihan dari koleksi yang berada dalam batas-batas dinding gedung perpustakaan ke koleksi yang tersebar sampai ribuan kilometer jauhnya dari lokasi perpustakaan dimana kita sampai ribuan kilometer jauhnya dari lokasi perpustakaan di mana kita sedang berada, tapi dapat diakses lewat berbagai jaringan. Semua ini adalah realitas baru. Era internet menghadirkan arena baru yang penuh tantangan untuk para profesional informasi.
Metadata dibuat berdasarkan suatu skema metadata, yaitu sekelompok unsur metadata beserta peraturan untuk menggunakannya, yang dirancang utnuk suatu tujuan spesifik, misalnya untuk lingkungan tertentu atau untuk deskripsi sejenis sumber informasi tertentu.
Suatu skema metadata memiliki 3 aspek: (1) Semantik, (2) Isi, dan (3) Sintaksis.
• Semantik (semantics), yaitu definisi makna unsur-unsur skema bersangkutan. Tiap unsur diberi nama dan definisi. Biasanya disertai keterangan status unsur tersebut: apakah wajib (mandatory), pilihan (optional), atau wajib pada kondisi tertentu (mandatory if applicable). Juga disebutkan unsur mana boleh diulang (repeatable).
• Isi (content), yaitu peraturan untuk nilai unsur-unsur, atau peraturan untuk mengisi unsur skema. Skema Semantik misalnya menentukan bahwa ada unsur yang diberi nama “Pengarang”, lalu peraturan untuk isi menetapkan kriteria untuk menentukan siapa yang “Pengarang” dan bagaimana nama orang terpilih harus dicantumkan. Apakah nama sesuai dengan bentuk yang ditemukan pada halaman judul buku ? Atau menurut format tertentu, misalnya: Nama Keluarga, Nama Kecil? Atau bentuk tajuk nama (name authority list)? Apakah untuk subyek harus dipakai daftar tajuk subyek? Peraturan is sangat penting karena membantu menjamin keseragaman dan konsistensi pengisian unsur-unsur, dan ini mempermudah tercapainya kecocokan atau match dalam proses temu kembali.
• Sintaksis, yaitu peraturan untuk encoding, bagaimana unsur-unsur skema itu dialihkan ke dalam bentuk machine-readable (terbacakan mesin), alias dapat dibaca dan diproses oleh komputer.untuk itu biasanya digunakan SGML (Standars Generalized Mark-up Language) atau XML, yang dikembangkan oleh W3C (Worid Wide Web Consortium), adalah sautu subset dari SGML. XML lebih mudah daripada SGML karena punya peraturan yang jelas dan konsisten, tidak begitu banyak feature dan pilihan yang justru bisa membuat bingung. Beberapa ciri lain yang menunjang popularitas XML sebagai sarana encoding ialah kebebasan untuk menetapkan sendiri tengara (tag) yang cocok serta human-readable (musah dimengerti awam), dan kemudahan dalam pertukaran data terstruktur. Maka bisa dikatakan bahwa XML telah menjadi standar de-facto untuk representasi metadata, khususnya untuk sumber-sumber internet (internet resources). Contoh berikut memperlihatkan cantuman yang dibuat dengan MODS (Metadata Object Description Standard) menggunakan XML.
Contoh skema metadata (disusun menurut abjad) :
1. CDWA (Categories for Descriptions of Works of Art) : skema untuk deskripsi karya seni.
2. DCMES (Dublin Core Metadata Element Set) : skema umum untuk deskripsi beraneka ragam sumber digital.
3. EAD (Encoded Archival Description) : skema untuk menciptakan sarana temu kembali bahan kearsipan (archival finding aids) dalam bentuk elektronik.
4. GEM (Gateway to Educational Materials) : skema untuk bahan pendidikan dan pengajaran.
5. MARC (Machine Readable Cataloguing) : skema yang digunakan di lingkungan perpustakaan sejak tahun 1960-an untuk membuat cantuman bibliografi elektronik standar.
6. METS (Metadata Encoding and Transmission Standard) : skema metadata untuk objek digital kompleks yang tersimpan dalam koleksi perpustakaan.
7. MODS (Metadata Object Description Standard) skema untuk deskripsi rinci sumber-sumber elektronik.
8. MPEG (Moving Pictures Experts Group) MPEG-7 dan MPEG-21 : standar untuk rekaman audio dan video dalam bentuk digital.
9. ONIX (Online Information Exchange), untuk data bibliografi lingkungan penerbit dan pedagang buku.
10. TEI (Text Encoding Initiative : panduan untuk encoding teks dalam bentuk elektronik menggunakan SGML dan XML khususnya untuk kalangan peneliti teks bidang humaniora.
11. VRA (Visual Resources Association) core : skema untuk deskripsi karya visual dan representasinya.
Skema metadata bisa bersifat khusus, artinya community specific atau domain-specific, misalnya CDWA, GEM, VRA, CSDGM. Skema juga bisa dirancang untuk umum yang memperlancar pencarian dan pertukaran informasi antar domain yang berbeda (cross-domain discovery), seperti DCMES. Unsur-unsur Dublin Core sengaja dibatasi pada 15 unsur saja, yang semuanya boleh diulang dan dapat dipilih (optional). Sejak awal Dublin Core dimaksudkan sebagai skema yang dapat dipakai di semua negara, oleh semua jenis komunitas, institusi, dan untuk semua jenis informasi.

Sedikit Cerita Tentang DCMES
Kisah DCMES (Dublin Core Metadata Element Set) berawal dengan serangkaian diskusi pada bulan Oktober 1994 di Chicago. Ketika itu di sana sedang berlangsung Internasional Word Wids Web Conference ke-2 yang dihadiri juga oleh tukoh dari lingkungan perpustakaan, khususnya dari OCLC (Online Computer Libraty Center) salah satu topik yang ramai dibicarakan adalah publikasi ilmiah lewat WWW, dan masalah temu balik sumber informasi di WWW yang bukan semakin mudah tetapi semakin kompleks. Disepakati bahwa perlu diadakan suatu lokakarya untuk membahas kemungkinan menciptakan suatu format metadata yang dapat mempermudah recource discovery dari web recources. NCSA (National Computational Science Alience dari Amerika Serikat) dan OCLC menjadi pemakarsa lokakarya ini yang diadakan di lokasi OCLC, di Doublin, Ohio, pada tahun 1995. Hasil dari lokakarya ini adalah Doblin Core. Lokakarya pertama ini diusul serangkaian lokakarya internasional yang bertujuan mengembangkan dan menyebarluaskan penerapan Doublin Core khususnya, dan standar metadata lain yang dapat meningkatkan resource Discovery umumnya. DCMI adalah organisasi yang berada di belakang kegiatan ini.
Doublin Core adalah suatu skema metadata yang digunakan untuk web Resource Description and discovery. Gagasasn membuat suatu standar baru agaknya dipengaruhi oleh rasa kurang puas dengan standar lama seperti misalnya MARC yang dianggap terlampau sulit (hanya dimengerti dan bisa diterapkan oleh pustakawan) dan kurang bisa digunakan oleh web resource. Untuk menangani banjir web recource diperlukan cara dan format yang lebih sederhana. Ciri-ciri doublin core yang diharapkan bisa membuatnya diterapkan secara luas oleh berbagai kalangan adalah :
• Doublin core dibuat sesedarhana mungkin agar dapat digunakan baik oleh awam (bukan pengatalog) maupun profesional. Diharapkan bahwa pencipta resource itu sendiri akan dapat membuat metadata (deskripsi) karya mereka tanoa memerlukan pelatihan khusus.
• Semua unsur bersifat opsional dan dapat diulan apabila diperlukan.
• Unsur-unsur diterima secara internasional, dan dapat diterapkan oleh semua disiplin ilmu.
• Setiap unsur dapat diperluas agar data yang lebih khusus (misalnya untuk disiplin ilmu atau aplikasi khusus) dapat tertampung.
• Dapat ditempatkan di dalam Web page (embedded) biasanya sebagai bagian dari header, sehingga dapat dideteksi oleh web robot atau spider.
Dublin Core terdiri atas 15 unsur, yaitu Title, Creator, Subject, Description, Publisher, Contributor, Date, Type, Format, Identifier, Source, Language, Relation, Coverage, dan Rights.
Dalam skema DC (Dublin Core) unsur-unsur diberi definisi, tetapi selain definisi tersebut tidak ada panduan untuk pengisian unsur, tidak ada content rules. Pengguna dapat mengisi unsur tanpa terikat pada ketentuan apapun, sehingga keserangaman dan konsistensi antar lembaga atau sistem pemakai Dublin Core sulit tercapai. Bahkan dalam satu sistem pun tidak ada keseragaman. Dublin Core dengan 15 unsurnya sebenarnya hanya kerangka (framework) atau container, dan container ini harus diisi dengan data yang dipilih berdasarkan standar untuk isi agar menghasilkan metadata yang dapat berfungsi dengan baik dalam proses resource discovery dan description.
Metadata dapat dijadikan bagian dari suatu resource, dapat juga disimpan dan ditampilkan terpisah dari yang dideskripsikan. KDT (Katalog dalam Terbitan) atau CIP (Cataloging in Publication) pada verso halaman judul buku adalah contoh dari metode pertama, sedangkan kartu katalog atau cantuman OPAC adalah contoh dari yang kedua. Metadata Dublin Core dapat menjadi bagian dari resource, disusun oleh pecipta resource atau oleh orang lain, atau terpisah dari resource sebagai entri katalog atau pangkalan data. Di bawah ini diperhatikan contoh metadata Dublin Core yang “tertanam” (embedded) dalam resource sebagai bagian dari header.

Sedikit Cerita Tentang MODS
MODS (Metadata Object Description Schema), yang resmi diperkenalkan pada tahun 2002, merupakan hasil kerjasama Network Development and MARC Standards Office dari Library of Congress, dibantu pakar-pakar bidang pengawasan bibliografi. Skema ini dikembangkan sebagai respons terhadap keluhan bahwa skema Dublin Core terlampau sederhana untuk lingkungan perpusatakaan, sedangkan format MARC 21 yang lengkap terlalu kompleks dan kurang user-friendly untuk pengguna di luar sistem perpustakaan. Hasilnya ialah suatu skema XML untuk metadata deskripsif ayng dapat digunakan untuk berbagai tujuan, tetapi khususnya cocok untuk aplikasi perpustakaan. Skema terdiri atas ruas-ruas MARC 21 terpilih yang dikelompokkan kembali agar lebih cocok untuk deskripsi obyek digital. Berbeda dengan MARC yang menggunakan tengara (tags) numerik, MODS menggunakan tengara kata-kata. Salah satu keuntungan besar tentu saja kompatibalitas antara cantuman MODS dan cantuman MARC. MODS dapat menampung data dari cantuman MARC untuk konversi atau dapat dipakai untuk resource description baru.
Dalam penjabaran rencana strategi Cataloging Derectorate Library of Congress (2004) yang berisi rekomendasi untuk cara-cara mengatalog sumber-sumber elektronik dijelaskan bahwa dengan menggunakan MODS sebagai sarana pengawasan bibliografi dan akses, perpustakaan akan mendapatkan banyak keuntungan dan kemudahan, antara lain :
• MODS adalah skema XML, dan XML adalah bahasa yang dikembangkan W3C maka dengan demikian pengguna MODS akan dapat dengan lebih mudah memanfaatkan semua sarana dan jasa yang sudah dan akan dikembangkan dengan XML.
• Skema memakai tengara (tag) XML yang memonik dan mudah dimengerti oleh spesialis maupun non-spesialis.
• Tampilan cantuman MODS fleksibel sebab dibuat dan diganti dengan mudah dengan style sheets.
• Pembuatan metadata mudah dilakukan dengan menggunakan templates.
• Struktur XML menjadikan MODS kompatibel dengan standar lain yang berbasis XML sehingga data deskriptif MODS dapat dikemas menjadi satu dengan jenis metadata lain (misalnya metadata pelestarian, administratif, struktural).
• Skema XML extensible dapat diperluas, misalnya dengan unsur dari skema metadata lain, atau unsur khusus untuk keperluan local.
• MODS tidak terikat pada skema tertentu untuk deskripsi isi (tidak terikat AACR2, pungtuasi ISBD). Pengguna MODS dapat menetapkan peraturan isi yang berlaku di institusi masing-masing untuk menjaga kualitas data dan konsistensi.
Tabel 8 : Skema MODS terdiri atas Top Level Elements
titleInfo Abstract Identifier
Name Table of contents Location
Type of resourc Target audience Access condition
Genre Note Part
Origin info Subject Extension
Language Classification Record info
Physical description Related item
Satu unsur dapat terdiri atas beberapa sub-unsur, dan unsur maupun sub-unsur perlu disertai atribut yang memberi informasi lebih khusus mengenai unsur atau sub-unsur. Misalnya mempunyai sub unsur : title, sub-title, partNumber, partName, nonSort, sedangkan atribut bisa berupa : ID, type (judul yang disingkat, terjemahan, alternatif, seragam), authority (authority list/file atau daftar kendali yang dipakai), displayLabel (jika ada keterangan tambahan tentang judul yang harus ditampilkan), xlink (link eksternal), lang (bahasa), xml : lang (bahasa suatu unsur, dinyatakan dengan menggunakan kode 2 karakter dari ISO 639-1), script (aksara), transliteration.
Metadata yang dibuat dengan MODS terstruktur, lengkap dan rinci, dengan granularity yang baik. Dalam konteks metadata, granularity mengacu ke halus atau kasarnya butir-butir (data). Jika misalnya sesuai peraturan skema unsur nama pengarang dicatat sebagai berikut : William Shakespeare maka metadata ini disebut kurang granular dibandingkan dengan metadata berikut :

Hillman
Diane
Contoh metadata kedua memungkinkan penyusunan daftar nama pengarang menurut abjad nama keluarga, maupun abjad nama kecil apabila dikehendaki, sedangkan yang pertama tidak. Skema yang membagi keterangan tentang publikasi menjadi tiga unsur atau tiga ruas/subruas dengan tag masing-masing lebih granular daripada skema yang menjadikannya satu unsur. Butir-butir yang lebih halus meningkatkan fleksibilitas. Unsur resource discovery tentu ini lebih menguntungkan, namun di sisi lain untuk pembuatan metadata yang lebih granular diperlukan lebih banyak waktu dan juga tenaga yang mampu mengidentifikasi butir demi butir, lalu melakukan encoding yang tepat. Seperti biasa, yang paling baik ialah tetapkan yang ditengah-tengah : tidak terlalu halus, tidak kurang, dapat ditangani oleh staf, dan sesuai kebutuhan pencari informasi.

Sedikit (Lagi!) Cerita Tentang METS
Pada tahun 2001 Digital Library Federation (DLF) mengadakan pertemuan yang dihadiri para pakar yang aktif dalam beberapa proyek perpustakaan digital untuk bertukar pikiran tentang pengalaman mereka dengan metadata, dan untuk memutuskan langkah-langkah ke depan. Hasil dari pertemuan itu adalah ide untuk METS (Metadata Encoding and Transmission Standard), yaitu satu dokumen XML yang mengemas metadata untuk sumber digital menjadi suatu “paket” yang sekaligus berisi metadata deskriptif, administratif, struktural, legal, dan data lain yang dibutuhkan untuk menemukan, mengelola, menampilkan, melestarikan sumber-sumber digital. Setahun kemudian skema METS sudah siap, dan mulai digunakan dalam proyek-proyek eksperimental.
Di situs Web resmi METS tercantum : “The METS schema is a standard for encoding descriptive, administrative, and structural metadata regarding objects within a digital library, expressed using the XML schema language of the World Wide Web Consortium”.
METS adalah suatu open standard, atau non-proprietary (jadi bukan milik suatu institusi, perusahaan atau individu), dikembangkan oleh komunitas perpustakaan, relatif sederhana, dapat diperluas (extensible) dan moduler. Library of Congress bertindak sebagai maintenance agency.
Dokumen METS atau “paket” METS terdiri atas 7 section, atau (1) METS Header, (2) Descriptive metadata, (3) Administrative metadata, (4) File section, (5) Structural map, (6) Structural Links, (7) Behavior. Semua section, kecuali header dan peta struktur, adalah opsional. Metadata deskriptif, administratif, dan perilaku bisa berada dalam dokumen METS (internal) atau bisa eksternal. Eksternal berarti bahwa metadata tersebut tidak ada dalam dokumen METS, melainkan di tempat lain. Di dalam dokumen METS hanya ada link ke metadata eksternal itu. Metadata deskriptif eksternal misalnya, bisa saja ada dalam suatu entri katalog. Secara garis besar isi dan fungsi masing-masing section ialah :
• Header memberi informasi tentang dokumen METS itu sendiri, seperti data identifikasi, pencipta, tanggal penciptaan, pemutakhiran (update) dan status.
• Descriptive metadata berisi data bibliografi atau data finding-aid bahan kearsipan, dan dapat antara lain dibuat dengan skema MODS, dublin core, MARCXML, atau section ini “kosong”. Maksudnya tidak ada metadata yang mendeskripsikan sumber tersebut, hanya ada pointer atau link ke metadata deskriptif yang tersimpan di tempat lain (external descriptive metadata).
• Administrative metadata berisi data yang sangat penting untuk penggunaan dan pelestarian sumber digital. Terdiri atas (1) technical metadata, yaitu informasi tentang tanggal penciptaan, format, ciri penggunaan, (2) Intellectual Property Rights metadata yaitu informasi tentang hak cipta, lisensi, (3) Source metadata, yaitu metadata deskriptif dan administratif tentang sumber analog asal suatu objek digital, (4) Digital Provenance metadata, yaitu informasi tentang hubungan source/destination dan master/derivative antar satu berkas dengan berkas lain, juga bisa berisi data tentang transformasi dan migrasi yang sangat perlu untuk proses pelestarian.
• File section mengidentifikasi berkas-berkas yang berhubungan seperti semua versi dari suatu objek atau sumber digital, misalnya thumbnails, master archival version, text-encoded version, pdf version.
• Structural map mendefinisikan struktur hirarkis dokumen yang membantu pengguna bernavigasi dari suatu bagian obyek digital ke bagian lain.
• Structural links, yaitu pencatatan huperlinks yang terdapat dalam peta struktur.
• Behavior berisi pointer ke program komputer atau aplikasi yang diperlukan untuk menampilkan (display) objek digital.
Dokumen METS memungkinkan penyimpanan, pengemasan dan transmisi obyek digital yang kompleks secara efektif.
MODS dan METS merupakan kontribusi penting dari komunitas perpustakan. Sebagaimana ditegaskan oleh Guenther dan McCallum (2003), tradisi deskripsi bibliografi komunitas perpustakaan yang sudah dikembangkan dengan baik apabila disesuaikan sedikit untuk mengakomodasi sumber-sumber digital, akan bermanfaat bagi masa depan digital. Contohnya MODS. Sedangkan METS, dalam konteks metadata yang lebih besar, merupakan langkah besar yang membawa stabilitas pada metadata non-deskriptif, dan stabilitas inilah diperlukan untuk menciptakan suatu lingkungan internet yang beroperasi dengan mulus dimana sumber-sumber elektronik mengalir lancar, tanpa hambatan, dari sistem ke sistem.

Metadata Interoperability
Metadata pada dasarnya diciptakan untuk membantu pengelola dan pencari informasi, namun benarkah metadata masih menjalankan fungsi ini ? Simaklah misalnya apa yang dikatakan oleh Caplan (2001) :
“ …. The metadata environment is becoming increasingly complicated for both the information provider and the information seeker. Not only are there more metadata schemes rely upon both implementer’s agreements to restrict practice and upon local extensions to broaden it. In addition,, metadata records created at different times by different agencies and located in different pleaces may have to be integrated at various points of use”
Mari kita sekali lagi melihat masalah ini dari sudut pandang pengguna. Kita telah mengikuti kisah si Badu (Bab 1) dengan happy ending-nya. Badu sebagai information seeker agaknya tidak terganggu oleh adanya begitu banyak skema metadata. Ia berhasil mendapatkan cukup banyak bahan yang relevan untuk karya tulis ilmiahnya dalam waktu yang relatif singkat. Ia pasti tidak tahu metadata itu apa, tidak sadar bahwa metadata telah ikut memperlancar penelusurannya. Badu beruntung sebab di perpustakaannya, seperti di kebanyakkan perpustakaan, berlaku boleh dibuat repot kala melakukan penelusuran, dan tampaknya perpustakaan Badu berhasil memberikan layanan penelusuran yang sungguh memuaskan.
Apa rahasia dibalik keberhasilan perpustakaan Badu ? Kata kuncinya ialah “interoperability”. Apabila sistem-sistem dengan perangkat keras dan lunak, struktur data, antar muka yang berbeda, dapat bertegur sapa dan tukar menukar informasi, sehingga tiap sistem dapat memanfaatkan hasil pertukaran tanpa kesulitan, maka dikatakan bahwa diantara sistem tersebut ada interoperability. Interoperability dalam konteks metadata berarti bahwa informasi (metadata) yang berasal dari satu sistem dapat dimanfaatkan oleh atau di sistem lain. Metadata interoperability mempunyai tiga dimensi, yaitu dimensi sematik, struktural, dan perhatian sangat besar. Sudah tumbuh kesadaran bahwa “metadata interoperability has to be the underlying principle of networked information management.” Hanya dengan metadata interoperability sebagai landasan,pengelolaan informasi yang terhubung lewat jaringan dapat berjalan (Moen, 2004).
Ada beberapa cara untuk mengupayakan metadata interoperability, namun disini hanya akan dibahas satu saja, yaitu metadata crosswalks.

Metadata crosswalks
Penyusunan suatu metadata crosswalks dimulai dengan menganalisis skema metadata dan mencari persamaan (korelasi) dalam hal semantik, isi, dan sintaksis dengan skema lain. Ini disebut metadata mapping atau semantic mapping. Crosswalks, yang harfiahnya berarti jalan penyeberangan, adalah spesifikasi atau peta yang menunjukkan hubungan dan persamaan-persamaan ini. Mapping ini antara lain dilakukan untuk proyek konversi dan untuk memenuhi keinginan pengguna mendapatkan layanan “one-stop shopping” atau cross-domain searching (Woodley, 2000).
Metadata mapping adalah proses yang menuntut ketelitian yang tertinggi. Masalahnya banyak sekali dan kadang-kadang tidak terpecahkan dengan memuaskan (St. Pierre & LaPalnt, 1998). Beberapa contoh masalah : Unsur yang ada dalam satu sistem, mungkin tidak ada dalam sistem lain; data yang dalam satu sistem dicatat di satu unsur dalam sistem lain tersebar dalam dua atau lebih unsur atau sebaliknya, unsur yang boleh diulang dalam satu sistem dalam sistem lain tidak dapat diulang. Lebih sulit lagi ialah merekonsiliasikan nilai atau isi unsur. Misalnya nama (dibalik atau tidak), subyek (dengan atau tanpa kosa kata terkendali? Bagaimana kalau daftar kosa kata terkendalinya beda?) Pendek kata, kebersihan metadata mapping tergantung dari derajat persamaan antara skema, khususnya dalam tiga aspek penting yaitu : (1) granularity, (2) kompatibilitas standar untuk isi unsur, dan (3) ke “aslian” skema (masih asli atau sudah banyak modifikasi lokal?).
Di bawah ini suatu contoj crosswalk:
Tabel 9 : Contoh Metadata Crosswalk
Dublin Core EAD MARC 21
Title Element Title 245 00$a (Title Statement/Tetle proper)
Author Element Creator 700 1#$A (Added Entry Personal Name (with $e = author)

720$a (Added Entry Uncontrolled Name/Name) (with $e = author)
Date Created Element Data Created 260##$c (Data of publication, distribution, etc)
Membuat metadata crosswalk tidaklah mudah. Namun untuk perpustakaan digital tang hendak memberi layanan one-stop searching, inilah untuk sementara masih jalan terbaik untuk mencapai metadata interoperability. Juga perlu diingat bahwa pekerjaan ini praktis tidak pernah selesai karena setiap kali terjadi perubahan dalam satu skema, semua crosswalk yang punya hubungan dengan skema tersebut harus juga di-update. Oleh sebab itu suatu alternatif yang menarik ialah pemetaan ke semacam interoperable core. Dengan demikian pemetaan dari semua skema ke semua skema lain tidak perlu. Ada semacam skema inti dan semua skema lain dipetakan ke core ini. Hanya saja hingga sekrang interoperable core baru menjadi wacana (Moen, 2004).

Metadata registries
Pengelola metadata dan penyususnan pemetaan antar skema sangat terbantu dengan adanya metadata registries, yaitu sarana berupa semacam indeks berisi istilah dan unsur metadata, lengkap dengan asal usul, definisi resmi, variasi lokal, dan daftar kode untuk nilai unsur. Selain untuk perbandingan dan penerjemahan untuk crosswalk, registries ini juga bermanfaat sekali untuk komunitas yang akan mendesain skema atau pangkalan data baru.

Menciptakan Metadata yang Baik
Sembari membaca bab ini mungkin di antara pembaca ada yang mengeluh bahwa bab ini seperti selalu halnya dengan bab rentang seluk beluk pengatalogan, begitu teknis, sulit, berat, kering. Apalagi setelah pengatalogan bermetamorfosa menjadi proses pembantuan metadata! Memang ada benarnya. Ibarat kita membangun gedung, proses peletakan pondasi dan pembangunan kerangka kurang menarik dibandingkan dengan tahap-tahap lanjutan yang memberi peluang untuk bermain secara kreatif dengan aneka macam materi, bentuk, dan warna. Tetapi tugas yang teknis, sulit, berat, dan kering ini mempunyai fungsi yang teramat penting, sebab : “It provides the underlying foundation upon which digital asset management systems rely to provide fast, precise access to relavant rsources across networks and between organizations” (hunter 2003). Bahkan, menurut Arms (2001), mungkin yang membedakan perpustakaan digital dari sekedar sekelompok dokumen atau halaman web adalah metadata: “…….. perhaps what distinguishes a digital library from a set of documents or web pages is the exiztence of samo formalized, structured metadata (data about data) to provide organized access to a body of resources.”
Mengingat teramat pentingnya matadata, pembuatan metadata harus dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Banyak faktor yang ikut menentukan kualitas metadata. Panduan berikut mencakup prinsip-prinsip dari A Framework of Guidance for Building Good Doigital Collections dari NISO (national Information Standards Organization dari Amerika Serikat) dan saran dari sumber-sumber lain :
• Pilihlah skema yang cocok untuk bahan dalam koleksi, pengguna koleksi, dan penggunaan, baik sekrang maupun di mada mendatang.
• Buatlah sistem metadata dengan levels of control, demi efisiensi biaya, waktu dan tenaga. Dengan berkonsentrasi pada sumber penting saja,kualitas metadata lebih terjamin.
• Gunakan lebih dari satu skema bila perlu, misalnya MARC atau MODS untuk sumber-sumber yang paling penting, dan Dublin Core yang sederhana untuk yang kurang penting.
• Utamakan kebutuhan dan kemudahan pengguna. Skema yang sederhana mungkin lebih mudah bagi staf perpustakaan yang harus membuat metadata, tetapi pengguna dirugikan karena recource discovery menjadi kurang lancar, rumit, dan hasilnya mengecewakan.
• Jangan terkecoh oelh kemudahan semu. Skema sederhana belum tentu lebih mudah diaplikasikan daripada skema yang lebih kompleks. Untuk mengakomodasi data, pengatalog sering terpaksa membuat modifikasi atau perluasan lokal. Ini akan menghambat atau bahkan menuiadakan interoperability.
• Untuk memperlancar kerjasama dan jaminan interoperability dalam satu jaringan, susunlah suatu application profile bersama.
• Skema terpilih harus menunjang interoperability semantik, struktural, dan sintaktik.
• Skema untuk perpustakaan perguruan tinggi hendaknya menghasilkan metadata yang cukup granular.
• Gunakan kosa kata terkendali yang standar, daftar pengendali (authorty files) untuk nama orang, badan korporasi, dan unsur lain yang dijadikan titik temu (access point) yang dapat menjamin keseragaman dan konsistensi isi unsur-unsur.
• Buatlah metadata yang mampu menunjang pengelolaan sumber digital berjangka panjang.
• Cantuman berisi metadata merupakan sumber digital pula, dan sebab itu harus juga memenuhi syarat archivability, persistence, unique identification.
• Manfaat sarana bantu untuk pembuatan metadata yang telah tersedia, misalnya: templates, mark-up tools, extraction tools, conversion tools.
• Susunlah panduan penyusunan metadata yang menjelaskan How – What – Where – When – Why bagi staf agar kebijakansanaan yang telah ditetapkan dilaksanakan dengan taat azas.
• Laksanakan quslity control metadata secara teratur.
• Metadata utnuk koleksi perpustakaan digital perguruan tinggi sebaiknya dibuat oleh staf profesional yang dididik, dilatih, dan di retool secara bersinambungan.
• Perpustakaan perguruan tinggi di masa mendatang sebaiknya menunjukkan seorang staf profesional untuk betindak sebagai “metadata manager” atau ”metadata intergratoe” yang bertanggung jawab atas proses seamless access di perpustakaan tempat ia bekerja.